Sabtu, 13 April 2013

SANGGAHAN (rebuttal, protest) TERHADAP YANG MENGHARAMKAN NYANYIAN DAN MAIN MUSIK

Karena di sekitar lingkunganku banyak yang mengharamkan music dan nyanyian, aku sengaja posting ini untuk menyanggah. Setelah aku browsing ke Google, ya aku nemu artikel ini. (Berhubung aku nggak tau cara nulis arabnya, ya aku copas aja, hehehe :D).

Apabila diteliti mendalam dalil-dalil syara' maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan manusia seperti melihat, mendengar, bersuara, berjalan, tidur dan menggunakan tangan adalah mubah bila dilihat dari kerumuman pengertian dalil. Sebagai contoh, perhatikanlah firman Allah s.w.t.:
(أَ لَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ وَ لِسَانًا وَ شَفَتَيْنِ) (البلد:8,9)
"Bukankah Kami telah berikan kepadamu dua buah mata (untuk melihat), lidah dan dua buah bibir (untuk bersuara, mengecap makanan dan minuman).' (90:8,9).
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ ذَلُوْلاً فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا...) (الملك: 15)
"Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu. Maka, berjalanlah di segala penjurunya...."(67:15).
(وَ جَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا) (النبأ: 9)
"Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat." (78:9).
لِيَأْكُلُوْا مِنْ ثَمَرِهِ وَ مَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيْهِمْ.....) (يس: 35)
"Supaya mereka dapat makan dari buahnya dan dari apa yang diushakan oelh tangan mereka....." (36:35).
Dalil-dalil diatas mengajarkan keapda kita bahwa manusia boleh melihat dan mendengar apa saja. Manusia boleh melihat pemandangan, mendengarkan suara wanita dan nyanyiannya kecuali terhadap apa-apa yang telah dilarang syara' dalam perbuatan itu (Lihat Sauf-ud-Din al-Aamidi, AL-IHKAM FI USHUL-IL-AHKAM, Jilid I, hlm. 130).
Seseorang juga dibolehkan mengeluarkan suara dengan cara apapun, misalnya berbicara, berpidato, berdiskusi, dan bernyanyi, kecuali bila ada suatu dalil syara' yang memang melarangnya. Begitu pula tentang gerakan-gerakan lainnya. Sebagai salah satu contoh adalah sabda Rasulullah s.a.w. (H.R. Muslim, dari Abu Hurairah : Hadis No.2657):
(كُتِبَ عَلى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنى مُدْرِكٌ ذلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانُ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَ الأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَ اللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَ الْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَ الرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَاءُ وَ الْقَلْبُ يَهْوى وَ يَتَمَنّى وَ يُصَدِّقُ ذلِكَ الْفَرْجُ وَ يُكَذِّبُهُ)
"Bani Adam (manusia) tidak dapat menghindar dari perbuatan (yang menghantarkannya kepada) zina, yang pasti akan menimpanya, yaitu zina mata adalah dengan melihat (aurat wanita), zina telinga adalah dengan mendengar (kata-kata porno, cinta asmara dari wanita/lelaki yang bukan suami/istri), zina tangan adalah dengan rayuan dan kata-kata kotor dan porno), zina tangan adalah dengan bertindak kasar (memperkosa, menjawil wanita), zina kaki adalah dengan berjalan (ke tempat maksiat, misalnya ke kompleks WTS). (Dalam hal ini), hatilah yang punya hajat dan cenderung (kepada perbuatan-perbuatan tersebut), dan farji (kelamin) yang menerima dan menolaknya."
Menurut riwayat lain yang diriwayatkan oleh Ats-Tsa'labi melalui Ibnu 'Abbas, ada tambahan lafadz pada hadis tersebut,yakni:
(وَ زِنَى الشَّفَتَيْنِ الْقُبْلَةُ)
"Zina bibir adalah mencium (wanita yang bukan istrinya). (Lihat TAFSIR QURTHBI, Jilid XVII, hal. 106-107).
Bertolak dari dasar hukum inilah maka mendengar atau memainkan alat-alat musik atau menyanyi mubah selama tidak terdapat suatu dalil syar'i yang menunjukkan bahwa pekerjaan tersebut haram atau makruh. Mengenai menyanyi atau memainkan alat musik dengan atau tanpa nyanyian, tidak terdapat satupun nash, baik dari Al-Quran maupun sunnah rasul yang mengharamkannya dengan tegas. Memang ada sebagian dari para sahabat, tabi'in dan ulama yang mengharamkan sebagian atau seluruhnya karena mengartikannya dari beberapa nash tertentu. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa hal tersebut makruh, sedangkan yang lain mengatakan hukumnya mubah.
Adapun nash-nash (dalil-dalil) yang dijadikan alasan oleh mereka yang mengharamkan seni suara dan musik bukanlah dalil-dalil yang kuat. Sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak ada satu dalil pun yang berbicara secara tegas dalam hal ini. Dengan demikian, tidak seorang manusia pun yang wajib diikuti selain daripada Rasulullah s.a.w. Beliau sendiri tidak mengharamkannya. Seluruh riwayat hadis yang dipakai oleh golongan yang mengharamkan alat musik dan nyanyian adalah dha'if atau maudhu' (palsu dan lemah). Oleh karena itu, Imam Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi berkata: "Tidak terdapat satu dalil pun di dalam Al-Quran maupun Sunnah Rasul yang mengharamkan nyanyian. Bahkan hadis Shahih (banyak yang) menunjukkan kebolehan nyanyian itu. Setiap hadis yang diriwayatkan maupun ayat yang dipergunakan untuk menunjukkan keharamannya maka ia adalah bathil dari segi sanad, bathil juga dari segi i'tiqad, baik ia bertolak dari nash maupun dari satu penakwilan." (Lihat Imam Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi, AHKAM-UL-QURAN, Jilid III, hlm. 1053-1054).
Walaupun ada beberapa riwayat yang benar dan bisa diterima tetapi ia tidak dapat dijadikan hujjah. Karena itu, patut kita bertanya, siapa yang patut diikuti, Rasulullah s.a.w. atau ulama?!
Tentang siapa yang harus diikuti, seorang Muslim telah memahami bahwa hanya Rasulullah s.a.w. yang patut dijadikan rujukan atas setiap tindakannya. Bahkan pendapat ini telah diperkuat oleh sikap para sahabat dan tabi'in. Di kalangan mereka tidak terdapat perbedaan pendapat di antara penduduk Madinah yang ketika itu merupakan tempat tinggal para sahabat yang sebelumnya mereka bergaul rapat dengan Rasulullah s.a.w. Misalnya, seperti apa yang dikutip oleh Imam Ibnu An-Nahawi dalam bukunya AL-'UMDAH bahwa (Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 114-115). telah diriwayatkan tentang halalnya nyanyian dan mendengarkannya dari sekelompok sahabat dan tabi'in.
Kemudian Ibnu An-Nahawi mencantumkan nama-nama para sahabat dan tabi'in yang membolehkan menyanyikan nyanyian dan mendengarkannya.
Misalnya, di antara para sahabat adalah 'Umar, 'Utsman, 'Abd-ur-Rahman bin 'Auf, Abu 'Ubaidah Al-Jarrah, Saad bin Abi Waqqash, Bilal bin Rabbah, Al-Bura' bin Malik, Abdullah bin Al-Arqam, Usamah bin Zaid, Hamzah bin 'Umar, Abdullah bin 'Umar, Qurrazhah bin Bakkar, Khawwat bin Jubair, Rabah Al-Mu'tarif, Al-Mughirah bin Syu'bah, 'Amru bin Al-Ash, Aisyah binti Abu Bakar, Ar-Rabi', dan masih banyak lagi dari kalangan sahabat.
Sedangkan dikalangan tabi'in terdapat nama-nama seperti Said bin Al-Musayyab, Salim bin 'Umar, Ibnu Hassan, Kharizah bin Zaid, Syuraih Al-Qadli, Said bin Jubair, 'Amir Asy-Sya'bi, 'Abdullah bin Abi 'Athiq, 'Atha bin Abi Rabah, Muhammad bin Shahab Az-Zuhri, 'Umar bin Abd-ul-'Aziz, Saad bin Ibrahim Az-Zuhri.
Adapun dari kalangan tabi'it tabi'in jumlahnya sangat banyak, di antaranya Imam yang empat, Ibnu 'Uyainah, dan jumhur Syafi'iyah. (Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 114-115).
Agar tidak timbul keraguan lagi maka di sini akan dibahas seluruh dalil yang dipakai oleh golongan yang mengharamkan penggunaan alat-alat musik dan nyanyian.
1.   SURAT LUQMAN, AYAT 6.
Ayat ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan nyanyian. Tetapi ayat tersebut berkaitan erat dengan sikap dan perbuatan orang-orang kafir yang berusaha menjadikan ayat-ayat Allah s.w.t. sebagai senda-gurau. Tujuan mereka adalah untuk menghina, merendahkan dan berusaha menyesatkan orang-orang dari jalanNya. Mereka bermaksud menjauhkan orang-orang agar tidak mengikuti agama Islam. Sikap dan perbuatan ayat tersebut di atas terang dan jelas.
Dengan demikian, setiap usaha menakwilkan ayat tersebut dengan arti nyanyian adalah penyimpangan dari makna yang telah ditunjukkan oleh ayat itu sendiri.
Dalam menanggapi pengertian pada ayat tersebut di atas, Imam Ibnu Hazm telah membantah penggunaan dalil tersebut. Beliau berkata: (Lihat Ali bin Ahmad bin Said Ibnu Hazm, AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 60):
"Teks ayat tersebut cukup untuk membatalkan hujjah mereka. Orang-orang yang bertindak demikian, sebagaimana yang diterangkan dalam ayat tersebut, adalah orang-orang yang bila mengerjakannya telah termasuk kafir tanpa ada selisih pendapat (khilaf). Mereka telah menjadikan sabil (agama Allah s.w.t.) sebagai senda gurau.
Andaikan Al-Quran dibeli untuk menyesatkan orang-orang dari Jalan Allah s.w.t. dan dijadikannya sebagai bahan ejekan, maka tentu orang-orang yang melakukan hal tersebut telah menjadi kafir. Inilah yang dicela oleh Allah s.w.t. melalui ayat tersebut. Arti ayat itu bukanlah ditujukan kepada orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan sesuatu untuk menghibur diri tanpa bermaksud menyesatkan orang lain dari jalan Allah s.w.t. Dengan demikian, hujjah mereka telah gugur. Begitu pula dengan orang-orang yang sengaja menyibukkan diri dengan maksud tidak melakukan solat walaupun apa yang dilakukannya itu adalah dengan membaca Al-Quran, buku-buku hadis, mencari bahan untuk pengajian, sibuk memandang banyaknya uang, atau menyibukkan diri dengan nyanyian dan yang serupa dengannya, maka orang tersebut adalah fasiq dan telah berbuat maksiat. Adapun yang tidak meninggalkan sesuatu dari apa yang telah diwajibkan walaupun ia sibuk dengan apa yang telah diwajibkan walaupun ia sibuk dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka orang tersebut adalah muhsin (orang yang tidak salah melangkah).
2.   SURAT AN-NAJM, AYAT 59-61.
Ayat ini sama sekali tidal ada kaitannya dengan nyanyian. Ia hanya menjelaskan tentang sikap kafir Quraisy yang merasa heran akan Hari Kebangkitan nanti yang sampai kepada kepada mereka. Karenanya, mereka menganggap hal tersebut merupakan kejadian yang mustahil terjadi. Walaupun ayat Al-Quran yang disampaikan Rasulullah s.a.w. kepada mereka telah memberitahukan tentang adanya Hari Kebangkitan itu, akan tetapi mereka mentertawakan dan merendahkannya. Padahal seharusnya mereka beriman dan menangisi dosa-dosa yang telah mereka perbuat.
Bertolak dari ayat ini, dari manakah para ulama tersebut mengambil pengertian tentang haramnya nyanyian? Kalau mereka bersandarkan kepada kata "SAAMIDUN" yang mempunyai arti "nyanyian" untuk ayat ini, maka samdaran tersebut tidak tepat sama sekali dan tidak sesuai untuk susunan ayat. Oleh karena itu, sebagian besar ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud dengan kata "SAAMIDUN" adalah "MU'RIDHUN" (menghindari daripadanya), dan atau "GHAFILUN" (mengabaikan, melupakan). (Lihat TAFSIR IBNU KATSIR, Jilid IV, hlm. 261; lihat juga TAFSIR ATH-THABARI, Juz XXVII, hlm. 48-49; TAFSIR QURTHUBI, Juz XVII, hlm. 123-124).
3.   AYAT 64 SURAT-UL-ISRAA.
Seperti ayat terdahulu, ayat ini juga tidak ada kaitannya dengan nyanyian. Tetapi ayat tersebut ada kaitannya dengan perbuatan Iblis yang dibiarkan (hidup dan berbuat apa saja) oleh Allah s.w.t. untuk menggoda dan menyelewengkan manusia dari jalanNya, Iblis dibiarkan leluasa mengajak manusia ke jalan maksiat. Oleh karena itu, kata "SHAUTIKA" pada ayat tersebut tidak dapat ditakwilkan dengan arti "nyanyian".
Walaupun arti "SHAUTIKA" secara lughawi adalah "suaramu", tetapi arti tersebut berbentuk kiasan. Tidak ada seorang manusia pun yang dapat mendengar suara Iblis. Manusia hanya dapat merasakan bisikan dari Iblis (rasa was-was) yang berbentuk seruan atau ajakan kepada maksiat. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Qatadah, dan Ibnu Jarir Ath-Thabari, serta pendapat ahli tafsir secara umum. (Lihat TAFSIR IBNU KATSIR, Jilid III, ayat 50).
Pengertian inilah yang sesuai dengan susunan ayat tersebut di atas. Sedangkan hukum penggunaan alat-alat musik dan nyanyian, tidak bisa diambil dari ayat ini walaupun terdapat pendapat dari sebagian ulama tabi'in seperti Mujahid, Adh-Dhahaak, dan lain-lain, yang menafsirkan ayat tersebut dengan arti "nyanyian" dan "alat musik". Tetapi ajakan atau seruan Iblis untuk mengajak kepada maksiat kadang-kadang memang dapat saja dikaitkan dengan berbagai jenis hiburan yang kadarnya melebihi takaran (keterlaluan), atau melampaui batas-batas yang dibenarkan syara' seperti main musik dan beryanyi pada waktu solat Juma'at, atau tatkala kaum Muslimin hendak berangkat ke medan jihad. Pada jenis pesta yang bercampur antara kaum lelaki dan perempuan adalah suatu peristiwa yang disenangi syetan, apalagi kalau disertai dengan minuman keras, judi, main perempuan, joget bersama, dan lain-lain. Dengan demikian ayat ini dapat dikaitkan dengan bentuk-bentuk ajakan Iblis yang sarananya berupa nyanyian atau hiburan lain yang tegas keharamannya.
4.   HADIS IMAM BUKHARI, No. 5590.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian lima di atas, Hadis ini tidak dapat dipakai sebagai dalil untuk mengharamkan nyanyian dan penggunaan alat-alat musik. Di dalam Hadis ini terdapat "QARINAH" (tanda penunjukan) bahwa mereka telah berani menghalalkan perzinaan, memakai sutera, menenggak (swallow, gulp down) khamr, dan memainkan alat-alat musik. Mengenai perzinaan dan minum khamr, sudah jelas hukumnya. Adapun mengenai pemakaian sutera dan memainkan alat-alat musik maka syara' telah mengaturnya sebagai sebagai berikut:
Mengenai sutera, syara' telah menghalalkannya bagi kaum wanita tetapi haram bagi kaum lelaki kecuali apabila ada alasan yang membolehkannya. Misalnya, bila seseorang menderita penyakit kulit (semisal eksim), maka ia mendapat "rukhshah" (keringanan) dan ia boleh memakainya. Semua keterangan tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud pemakai sutera dalam Hadis tersebut adalah orang-orang yang menghalalkan pemakaian sutera bagi kaum lelaki secara mutlak tanpa kecuali.
Begitu pula tentang penggunaan alat-alat musik, syara' telah membolehkannya dalam acara pesta pernikahan atau pada hari raya dan hari-hari gembira lainnya. Tetapi dalam hal ini, syara' telah mengharamkan menjadikan nyanyian dan memainkan orkes sebagai profesi kaum wanita. Artinya, mereka tidak dibolehkan menerima imbalan dari profesi (pekerjaan) tersebut.
Rasulullah s.a.w. bersabda:
لاَ يَحِلُّ ثَمَنُ الْمُغَنِّيَةِ وَ لاَ بَيْعُهَا وَ لاَ شِرَاءُهَا وَ لاَ الاِسْتَمَاعُ إِلَيْهَا)
"Penghasilan penyanyi wanita (bayaran) adalah tidak halal, begitu juga memperjualkan dan mendengarkan suara (nyanyian) nya."
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan, maksud Hadis Imam Bukhari tersebut jatuh kepada segolongan orang-orang dari kaum Muslimin yang berani menghalalkan penggunaan alat-alat musik di luar batas-batas yang telah digariskan syara'. Misalnya memainkannya di tempat umum (televisi, stadion, atau panggung-panggung pertunjukkan terbuka lainnya), bukan di tempat dan acara khusus, seperti pada acara pesta pernikahan di rumah-rumah. Dengan kata lain, syara' membolehkan biduanita budak menyanyi untuk pemilikinya, dan atau untuk para wanita lainnya dalam acara pernikahan. Boleh saja salah seorang di antara anggota keluarga pengantin ikut bernyanyi, tetapi syara' tidak membolehkan ada penyanyi wanita bayaran sebagaimana yang umum terjadi sekarang ini.
5.   HADIS MUSNAD IMAM AHMAD, JILID V, HLM. 259.
Hadis ini tidak dapat dijadikan pegangan karena dari segi sanadnya dha'if. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Sa'id bin Mansur dari Al-Harits bin Nabhan, dari Farqad As-Sabakhi, dari Ashim bin Amru, dari Abu Umamah.
Dalam menanggapi Hadis tersebut, Imam Ibnu Hazm telah menolak sanad Hadis tersebut. Beliau mengatakan bahwa Al-Harits bin Nabhan Hadisnya tidak boleh ditulis, dan Farqad As-Sabakhi Hadisnya lemah. Bahkan Imam Ahmad sendiri mengatakan bahwa Farqad As-Sabakhi riwayat Hadisnya tidak kuat. (Lihat Ibnu Hazm, AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 59). Tetapi Ibnu Mu'in mengatakan bahwa orang ini "tsiqah" (dapat dipercaya). (Lihat Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 111).
Imam Az-Zahabi mengatakan bahwa Al-Harits bin Nabhan riwayatnya menurut Imam Bukhari adalah "munkar-ul-hadits" (Hadis cacat yang diriwayatkan oleh satu riwayat saja dan orang tersebut belum dapat dipercaya). Tetapi menurut Imam An-Nasai, Hadisnya "matruk" (Hadisnya harus ditinggalkan). Sedangkan Ibnu Mu'in berpendapat, Hadis Al-Harits bin Nabhan "Laisa bi syai" (Hadisnya tidak perlu diperhatikan atau tidak perlu ditulis). (Lihat Muhammad bin Ahmad Az-Zahabi, MIZAN-UL-I'TIDALI FI NAQD-IR-RIJAL, Jilid I, hlm.444, No.perawi Hadis 1649).
Adapun Farqad As-Sabakhi walaupun menurut Ibnu Mu'in orang tersebut dapat dipercaya, namun menurut Abu Hatim sanadnya tidak kuat. Sedangkan Imam Bukhari mengatakan bahwa di dalam Hadisnya banyak Hadis yang "munkar". Kemudian menurut Imam An-Nasai, Hadisnya dha'if dan orangnya tidak dapat dipercaya. (Lihat Muhammad bin Ahmad Az-Zahabi, ibidem, Jilid III, hlm. 346, No perawi Hadis 6699).
 6.   HADITSNYA ABU DAWUD No. 4927.
Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan sanadnya adalah dari Muslim bin Ibrahim, dari Sallam bin Miskin melalui seorang kakek yang tidak disebutkan namanya. Si kakek itu pernah berjumpa dengan Abu Wail yang mendengar sebuah Hadits Rasulullah s.a.w. dari Ibnu Mas'ud yang berbunyi:
(الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ)
"Lagu atau nyanyian adalah sesuatu yang dapat menumbuhkan sifat nifaq di dalam hati manusia."
Pada sanad Hadits tersebut terdapat seseorang yang "majhul" (tidak dikenal), yaitu seorang kakek tua. Menurut kaidah ilmu Hadits bila sanadnya majhul, maka Hadits tersebut harus ditolak. Tetapi di dalam sanad Hadits ini terdapat seseorang yang dapat dipercaya, yaitu Sallam bin Miskin. Namun Imam Abu Dawud mengatakan bahwa perawi tersebut cenderung kepada pendapat golongan Qadariyah (golongan yang menolak adanya takdir). Karena itu sudah cukup bagi kita untuk meolak riwayatnya karena berarti ia telah tergolong ke dalam golongan (Qadariyah) yang berbuat bid'ah. Sedangkan ahli bid'ah tidak boleh diterima riwayatnya. 
Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya, juga dari Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Adi, dan Ad-Dailami dengan sanad yang dha'if. Menurut Ibn-ul-Qathan, ia menukilkan pendapat Imam Nawawi yang mengatakan bahwa Hadits ini tidak shahih. Pendapat ini juga didukung oleh Imam As-Sarkhasi dan Imam Al-'Iraqi yang menolak Hadits tersebut karena ada seseorang yang tidak tercatat namanya.
Imam Al-Baihaqi meriwayatkannya juga dalam kitab SYUAB-UL-IMAN dari Jarir dengan sanad yang di dalamnya ada seseorang yang bernama Ali bin Hammad. Orang ini menurut Imam Daruquthni adalah "matruk" (harus ditinggalkan).
Selain itu pada sanadnya ada Abdullah bin Abd-ul-'Aziz bin Ruwat yang menurut Imam Abu Hatim Haditsnya munkar seluruhnya. Akan halnya Ibn-ul-Junaid, beliau berpendapat orang ini "tidak bernilai sesenpun" (Lihat Abd-ur-Rauf Al-Manawi, FAIDH-UL-QADIR, Jilid IV, hlm. 413-414).
7. HADITS IMAM TIRMIDZI, NO. 1011.
Hadits ini walaupun dari segi sanadnya mursal, yang umumnya ditolak oleh sebagian ahli Hadits, tetapi oleh sebagian lainnya dijadikan hujjah dalam pengambilan hukum dan pendapat. Cara seperti inilah yang dapat diterima. Tetapi dari segi matannya (isi Hadits), ia tidak menunjukkan bahwa telah diturunkan azab atas mereka yang berupa tanah longsor (landslide), pertukaran rupa dari manusia ke wajah hewan, terjadinya kerusuhan adalah karena mereka telah menggunakan alat-alat musik atau karena mereka telah mendengar nyanyian seorang biduanita dan menenggak (swallow, gulp down) minuman keras. Tetapi semua malapetaka yang menimpa mereka disebabkan oleh karena mereka telah menghalalkan khamr, perzinaan, memakai sutera (bagi lelaki), dan membolehkan wanita tampil sebagai penyanyi dalam forum yang bercampur antara lelaki dan perempuan. Selain itu mereka menghalalkan menggunakan alat-alat musik di luar batas-batas yang telah ditentukan oleh syara', sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Hadits riwayat lainnya. Salah satu di antara Hadits tersebut adalah riwayat Bukhari Hadits No. 5590 yang berbunyi:
(لِيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَّ وَ الْحَرِيرَ وَ الْخَمْرَ وَ الْمَعَازِفَ وَ لَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ يَعْنِي الْفَقِيرُ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَ يَضَعُ الْعَلَمَ وَ يَمْسَخُ الآخَرِينَ قِرَدَةً وَ خَنَازِيرَ إِلى يَوْمِ الْقِيَامَةِ)
"Sesungguhnya akan terdapat di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak dan alat permainan (musik). Kemudian segolongan (dari kaum Muslimin) akan pergi ke tebing bukit yang tinggi. Lalu para pengembala dengan ternak kambingnya mengunjungi golongan tersebut. Lalu mereka didatangi oleh seorang fakir untuk meminta sesuatu. Ketika itu mereka kemudian berkata: "Datanglah kepada kami esok hari." Pada malam hari Allah membinasakan mereka, dan menghempaskan bukit itu ke atas mereka. Sisa mereka yang tidak binasa pada malam tersebut ditukar rupanya menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat."
Juga riwayat Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Al-Bukhari dalam buku TARIKHnya melalui Abi Malik Al-Asy'ari dari Rasulullah s.a.w. yang bersabda (Lihat Imam Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, FATH-UL-BARI, Jilid X, hlm. 55):
 (لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا تَغْدُو عَلَيْهِمِ الْقِيَانُ وَ تَرُوحُ عَلَيْهِمِ الْمَعَازِفُ)
"Segolongan dari umatku akan minum khamr tetapi dengan menyebutkan dengan nama lain, dan mereka akan didatangi oleh para penyannyi wanita keliling beserta pemain musik dengan alat-alat instrumentalnya."
8.   HADITS DI DALAM TAFSIR ATH-THABARI, JUZ XXI, HLM. 39.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabari dari Al-Waqi', dari Khallaf Ash-Shaffar, dari 'Ubaidillah bin Zahhar, dari Ali bin Yazid, dari Al-Kasim bin Abd-ur-Rahman, dengan sanad yang lemah. Di dalam Hadits tersebut terdapat sanadnya yang bernama Ali bin Yazid yang menurut Imam Bukhari adalah perawi Hadits yang munkar (Haditsnya harus ditolak). Kemudian Imam An-Nasai juga menilai bahwa orang tersebut tidak dapat dipercaya. Abu Zur'ah berkata bahwa Haditsnya tidak kuat riwayatnya, sedangkan Ad-Daruquthni berkata bahwa orang tersebut "matruk" (Haditsnya harus ditinggalkan). (Lihat Muhammad bin Ahmad Az-Zahabi, MIZAN-UL-I'TIDAL, Jilid III, hlm. 161; No. perawi Hadits 5966).
Walaupun sanad hadits tersebut lemah tetapi dari segi matannya Hadits ini tidak menunjukkan haramnya nyanyian dan penggunaan alat-alat musik. Focus Hadits ini hanya terbatas pada larangan mengajarkan teori musik dan mengarang lagu untuk dinyanyikan kaum wanita. Selain itu, Hadits ini juga melarang melakukan praktek jual-beli penyanyi wanita atau memberikan imbalan kepada mereka atas jasa menyanyi.
Semua larangan tersebut menunjukkan bahwa kaum perempuan lebih layak diajarkan ilmu atau kepandaian yang selain itu, seperti menjahit, merenda, menenun, mengajarkan ilmu fiqih, tafsir, dan ilmu syariat lainnya, atau ilmu-ilmu yang dibutuhkan bagi kaum wanita seperti ilmu kebidanan, dan sebagainya. Hadits ini juga menegaskan bahwa wanita mempunyai kehormatan. Bahkan andaikan ia berstatus wanita budak, tetapi ia tidak boleh diperjualbelikan, khususnya bagi penyanyi budak wanita. Larangan tersebut berlaku pula untuk praktek memberikan imbalan kepada penyanyi wanita yang menjadikan pekerjaan tersebut sebagai profesinya.
9.   HADITS RIWAYAT IBNU GHAILAN AL-BAZZAZ.
Hadits ini dari segi sanadnya lemah sebab di dalamnya terdapat dua orang perawi yang tak bisa diterima riwayatnya.
PERTAMA: 'Abbad bin Ya'kub. Mengenai orang ini, Imam Az-Zahabi berkata bahawa orang tersebut adalah salah seorang anggota kelompok ghulat (ekstrimis) dari kalangan kaum Syi'ah dan disebutkan sebagai orang yang terkemuka di antara golongan yang membuat bid'ah, walaupun, kata Imam Az-Zahabi, orang ini jujur dalam meriwayatkan Hadits. Kemudian Imam Ibnu Hibban menilai orang ini sebagai pendakwah untuk kalangan golongan Rafidhah (Syi'ah). Selanjutnya Ibnu Hibban mengatakan bahwa orang ini meriwayatkan Hadits-Hadits munkar dari orang-orang (perawi) terkemuka. Oleh karena itu, kata Ibnu Hibban, riwayatnya harus ditinggalkan. (Lihat Az-Zahabi, MIZAN-UL-I'TIDAL, Jilid II, hlm. 379, No. perawi 4149).
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Abbad bin Ya'kub termasuk salah seorang yang aktif dalam mengembangkan madzhab Syi'ah Rafidhah. Orang ini selalu mencela 'Utsman bin 'Affan dan para sahabat lainnya. Perbuatannya itu menjadi alasan yang kuat untuk menolak semua riwayatnya. Selain itu ia juga seorang ahli bid'ah yang menurut kaidah ilmu musthalah Hadits, tidak bisa diterima riwayatnya.
KEDUA: perawi pada sanad Hadits ini adalah Ja'far bin Muhammad bin 'Abbad Al-Makhzumi. Mengomentari orang tersebut, Imam An-Nasai berkata: "Dia tidak kuat riwayatnya ". Sedangkan Ibnu 'Uyainah mengatakan bahwa orang ini bukan ahli Hadits (tidak bisa diterima riwayatnya). (Lihat Imam Az-Zahabi, MIZAN-UL-I'TIDAL. Jilid I, hlm. 414, No perawi 1518).
Mengenai isi Hadits, dari segi matannya, Hadits tersebut menjelaskan bahwa penghasilan penyanyi lelaki maupun perempuan adalah haram. Yang dimaksud dengan penyanyi di sini adalah biduan dan biduanita yang bernyanyi di tempat-tempat maksiat. Tempat maksiat yang dimaksud adalah tempat yang di dalamnya orang-orang tidak merasa takut menenggak minuman keras. Penjelasan seperti ini diterangkan oleh Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabari dari 'Umar bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda (Lihat Al-Hafizh Ad-Dailami, FIRDAUS-UL-AKHBAR, Jilid II, hlm. 164, No. perawi 2371).
(ثَمَنُ الْقَيْنَةِ سُخْتٌ وَ غِنَاؤُهَا حَرَامٌ وَ النَّطَرُ إِلَيْهَا حَرَامٌ وَ ثَمَنُهَا مِثْلُ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَ ثَمَنُ الْكَلْبِ سُحْتٌ وَ مَنْ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ السُّحْتِ فَالنَّارُ أَوْلى بِهِ)
"Penghasilan wanita budak (Qayinah; yang bernyanyi di arena maksiat) adalah suhtun (haram), dan begitu pula nyanyiannya. Juga melihatnya (wanita itu) adalah haram. Penghasilannya sama dengan hasil dari penjualan anjing. (karenanya) hartanya adalah suhtun (haram) pula. Siapa saja yang daging tubuhnya tumbuh dari yang suhtun itu, maka tempat yang layak baginya adalah nereka jahanam."
Walaupun pada Hadits tersebut ada perawi yang bernama Yazid bin Abd-ul-Malik An-Naufali yang menurut Imam Al-Haitsami telah didha'ifkan oleh jumhur ahli Hadits, namun Imam Al-Haitsami telah menukilkan pendapat Ibnu Mu'in yang mengatakan bahwa riwayatnya tidak ada masalah (bisa diterima). Selain itu, Imam Al-Haitsami mengutip perkataan 'Utsman bin Sa'id: "Aku pernah menanyakan kepada Yahya tentang orang tersebut. Lalu Yahya menyebutkan bahwa riwayat orang tersebut tidak ada masalah (bisa diterima)." Namun dalam riwayat Hadits yang lain, Yahya berkata bahwa orang tersebut tidak bisa diterima riwayatnya. (Lihat Al-Haitsami, MAJMA'-UL-FAWAID, Jilid IV, hlm. 91: Imam Az-Zahabi, MIZAN-UL-I'TIDAL, Jilid IV, hlm. 433).
Berdasarkan Hadits di atas, maka yang dimaksud dengan penyanyi adalah wanita yang menyanyi di hadapan kaum lelaki dalam suatu ruangan tempat bercampur-baurnya lelaki dan perempuan, serta di dalamnya banyak orang bermabuk-mabukan. (Lihat Imam Al-Ghazali, IHYA 'ULUMIDDIN, Juz VI, Jilid II, hlm. 164).
Hadits ini juga tidak ada kaitannya dengan hukum nyanyian, apakah boleh atau tidak. Namun Hadits tersebut ada kaitannya dengan wanita yang menyanyi untuk kaum lelaki yang fasiq, baik di tempat-tempat umum maupun tempat-tempat khusus. Begitu juga penghasilan para pemain musik adalah haram bila pekerjaan tersebut dijadikan sebagai profesi, sebagaimana bunyi Hadits Abu Ya'la Ad-Dailami (Lihat Imam Al-Manawi, FAIDH-UL-QADIR, Jilid IV, hlm. 550):
 (كَسْبُ الْمُغَنِّي وَ الْمُغْنِيَّةِ حَرَامٌ)
"Penghasilan para penyanyi dan pemusik adalah haram."
Oleh karena itu Hadits tersebut di atas tidak dapat dijadikan sebagai dalil yang mengharamkan nyanyian. (from: http://seni.musikdebu.com/babVI.htm)

Intinya seni bermusik bukan haram, tapi itu semua bergantung pada cara penyajian dan niat. Karena seni itu keindahan. Cause Allah is beautiful and love beautiful.
Sekian postingan kali ini dan SEMOGA BERMANFAAT!!!

1 komentar:

  1. sebuah artikel yang sangat bagus sekali...
    intinya, musik di perbolehkan jika pergunakan dengan sebaik-baiknya.ada anggapan bahwa musik itu dilarang sangatlah wajar,sebab jika musik itu disalah gunakan maka akan berdampak negatif bagi sendiri dan lingkungan...
    Sekian
    tetap terus perdalam ilmu pengetahuan
    semoga berguna.........
    :)

    BalasHapus